Interview
“Kring…kring...kring...,” tiba-tiba Handphoneku yang murahan itu berbunyi.
Sudah tidak sabar rasanya ingin mengetahui siapa orang
yang menghubungiku dengan nomor telepon kode DKI Jakarta itu.
“Siang, siapa ya?” sapaku dengan lembut,
“Saya
Teguh Pak,
dari PT. Fajar Silva Swadaya, apakah Bapak punya waktu untuk Interview melaui
Handphone
sekarang?”Sahut pria
itu yang terdengar di telingaku.
Namanya
Pak Teguh, itulah orang yang meneleponku.
Pak Teguh adalah salah seorang ManagerDepartemenPlanning (Perencanaan) di Hutan Tanaman IndustriPT. Fajar Silva Swadaya,
orang-orang sering memanggilnya dengan “Bos
Planning”.
Tanpa
banyak basabasi akupun langsung
menjawab,
“
Bisa kalipun Pak!”
Itulah perkataanku dengan logat batak
yang tak hilang dalam lidah, sekaligus terlalu
senang
karena sepertinya aku akan dapat pekerjaan.
“Ha..., Medan-medan!” Gumamnya dengan tertawa.
“He...,” aku balik ketawa dengan malu.
“Benar Bapak mendaftar sebagai Staff Planning di perusahaan
kami?”
Planning adalah salah
satu department atau divisi di Perusahaan Hutan Tanaman Industri yang melakukan
kegiatan perencanaan pada semua aspek, baik itu rencana areal, rencana blok,
rencana jalan, pemetaan dan lain sebagainya.
“Benar Pak.” Utasku senang.
“Apakah Bapak bisa
menggunakan Arcgis?”
Aku bingung waktu Pak teguh mengatakan Arcgis!
“Arcgis! Maksudnya?” balasku.
“He...he...program
pemetaan Pak, seperti Arcview,
he...”
Orang ini kenapa tertawa terus?
Menghina apa kesurupan! Bisikku dalam hati.
“Ooo...kalau Arcview saya
bisa Pak.”
Walaupun
sebenarnya aku sama sekali tidak bisa menggunakan
arcview karena sudah lupa, tapi tetap kukatakan
bisa.
“Arcview berapa?”
“Arc...view...3.3 Pak!”jawabku dengan ragu.
Sungguh
aku tidak tahu kalau arcview itu banyak sekali, selama ini yang kutahu hanya arcview 3.3, ternyata masih ada banyak
arcview lainnya. Aku memang tidak pernah memperhatikan apa yang dikatan Pak Ali,dosen SIG (Sistem
Informasi Geografi) waktu kuliah dulu dan bayangkan betapa tertinggalnya
kampusku. Ketika pada zaman sekarang orang-orang geografi dan kehutanan sudah
memakai program Arcgis untuk pemetaan, kami malah
masih menggunakan Arcview yang
programnya sudah sangat jauh ketinggalan. Mendengar
kata Arcgis saja baru pertama kali
waktu itu.
“OkePak, apakah Bapak
sanggup bekerja di Kalimantan?” tanya Pak
Teguh kembali.
Aku
kembali berfikir, apa yang
harus kujawab. Ingin rasanya aku mengatakan tidak, karena fikiranku waktu itu
betapa jauhnya Kalimantan, selain itu yang kutahu kalimantan adalah tempatnya
para suku dayak yang katanya masih sangat tradisional, pake baju saja belum. Apakah itu
yang akan aku tuju? Namun seketika aku teringat dengan orangtuaku yang masih
banyak hutang. Aku harus membantu mereka, setidaknya ini adalah langkah awal
bagiku untuk bisa membantu mereka lepas dari jeratan hutang yang begitu banyak.
Akhirnya dengan pemikiran yang matangakupun menjawab,
“
Sanggup Pak.”
“Yakin?“ tanya Pak Teguh agar lebih meyakinkan.
“Yakin Pak.”
“Oke, kalaubegitu data Bapak saya proses ya?”
“IyaPak!” Jawabku dengan tegas, agar terdengar lebih semangat.
“OK Pak Damar, tidak lama lagi anda
akan ditelepon
oleh HRD kami, jadi tetap Standby terus dengan Handphone Anda.”
“Baik Pak.”
“Selamat Siang…”
“Siang Pak…”
Setelah
itu pembicaraan kamipun terhenti.
Beberapa saat kemudian seorang HRD kembali meneloponku untuk mencari kejelasan
pasti tentangku.Rasanya
aku baru saja berbicara dengan orang-orang
yang sangat kuhormati. Betapa senangnya hatiku waktu itu, ingin rasanya kupeluk
teman-teman satu kosku yang pada waktu itu yang
ikut
mendengarkan percakapanku dengan Pak Teguh. Entah kenapa aku sangat yakin
diterima walaupun prosesnya masih panjang.
Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang kulamar, namun
belum satupun yang cocok buatku. Kebanyakan perusahaan yang menerimaku hanya
sebagai marketing atau sales, jelas aku tidak mau. Semua itu karena jiwaku
bukanlah berdagang dan aku juga tidak suka pekerjaan yang demikian.
Selain itu jenis perusahaan apa yang mau menerima
lulusan Sarjana Pendidikan Geogafi sepertiku, kecuali sekolah swasta dan dinas
pendidikan. Walaupun background pendidikanku ada hubungannya dengan Geografi,
namun tetap saja aku adalah seorang pendidik. Masih banyak lulusan Geografi
murni, atau biasa dibilang Geografi Non-pendidikan (Jurusan GIS, Survey,
Penginderaan Jauh) di luar sana yang memang diciptakan untuk berkarier di
perusahaan kehutanan mauapun perkebunan yang membutuhkan jasa survey dan
pemetaan. Sedangkan kami khusus diciptakan untuk bisa mengajar dan mendidik
anak bangsa.
Berdasarkan pendidikan yang kutempa selama 4 tahun di
Universitas Negeri Medan, seharusnya aku menjadi seorang guru geografi. Namun
bayangkan saja gajiku sebagai seorang guru honorer dengan 18 jam seminggu hanya
digaji dengan Rp. 300.000 perbulan. Jangankan untuk membantu orangtua, ongkos
bensinku saja tidak cukup. Itulah sebabnya aku tetap ingin bekerja di
perusahaan.
Aku tahu bahwa mengajar disekolah itu adalah tugas
mulia, tapi membantu orangtuaku yang saat ini dalam kesusahan mungkin lebih
mulia dibanding menjadi seorang guru di sekolah. Selain itu, menjadi guru juga bukan
berarti harus mengajar di sekolah formal, karena kita tahu sendiri bahwa setiap
tempat itu adalah sekolah. Semua orang bisa belajar dan mengajar dimanapun. Jika
aku ahli dibidang Arcgis, tidak menampik kemungkinan aku akan mengajarkan hal
itu pada karyawan-karyawan baru atau bawahanku nantinya,artinya aku akan tetap
menjadi seorang guru, yaitu guru Arcgis.
Jalan
Tonggos
Dua
hari kemudian akupun mengikuti tes Psikotes. Jam 07.00 WIB aku sudah bergerak
dari Kosku menuju tempat pelaksanaan
Psikotes. Alamatnya adalah Jalan Tonggos Nomer 34, kecamatan Medan Barat. Alamat itu sendiri diberitahu oleh Buk Iten, seorang
HRD PT. FSS yang meneleponku setelah Pak Pak Teguh waktu itu. Akupun
segera menuju ke alamat tersebut.
Buk
Iten mengatakan Tes dimulai Pukul 09.00 WIB. Jalan Tonggos tentunya aku sudah tahu, tapi rumah
nomer 34 aku sama sekali tidak pernah
melihatnya. Tepat
di persimpangan Jalan Tonggos akupun berhenti dan
kulanjutkan dengan berjalan kaki untuk mencari alamat tersebut. Matahari masih
sangat muda, sangat sehat jika terkena sinarnya, karena waktu itu masih Pukul
08.00 WIB. Aku berjalan terus menurusi setiap rumah-rumah yang ada di jalan
Tonggos. Ternyata sedikit agak susah mencari alamat tersebut.
Pada
akhirnya kutemukan juga rumah tersebut, nomer 34. Rumahnya terlihat tidak
terlalu besar dan mempunyai pagar besi rusak
yang
sepertinya tidak pernah tertutup. Di depan atap teras rumah terlihat
lampu-lampu kecil yang pada malam hari pasti terlihat berwarna-warni dan
berkedip-kedip seperti bintang, di kaca
depan rumah terlihat poster-poster wanita-wanita seksi. Sungguh jauh dari yang
kubayangkan, karena sebelumnya fikiranku berfirasat bahwa tempat tes Psikotes
pasti agak sedikit mewah, ada AC dan mungkin dihiasi dengan poster angka-angka,
bahkan mungkin saja poster para ilmuan.
Tapi gak apa-apalah, mungkin mereka ingin menguji kekuatan iman sesorang dari
godaan-godaan kotor, maklum mereka adalah orang psikologi. Itulah pemikiranku
saat itu.
Pintu
rumah terbuka begitu saja, akupun mendekati pintu rumah sambil berkata
“ Permisi,”sapaku pelan.
Sangat banyak
wanita-wanita cantik yang hanya bercelana pendek dan memakai tengtop di dalam
rumah tersebut. Kemudian salah seorang wanita yang berada di dalam keluar
menuju arahku dan membalas dengan bertanya,
“Mau Pijet ya Bang?”
“Astaghfirullah,”ucapku kaget.
Firasatkujadi tidak enak,
“Bu...bu..bukan..., saya mau tes
Psikotes Kak,
alamatnya nomer 34, benerkan ini alamatnya?” Gumamku gugup.
Semua
wanita yang ada di dalam rumah tersebut sejenak terdiam mendengar
pertanyaannku, kemudian tiba-tiba mereka
tertawa terbahak-bahak,
“Ha....ha.....ha....ha.....,”tertawaan mereka begitu keras.
“Ini tu nomer 34A Bang,
kalau
yang Abang maksud itu nomer 34B, tu di depan!Tapi
kalau ntar badannya pegel-pegel habis ujian langsung kesini aja, biar
dipijitin, mau pijit enak juga bisa,
ha....ha....ha...!” Ujar salah
seorang diantara mereka.
Kemudian semua kembali menertawakanku. Akupun
jadi malu, lansung aku permisi sambil tersenyum-senyum simpul menahan malu yang
kurasakan. Tiada kusangka sama sekali tempat yang kusinggahi adalah tempat
pijat plus-plus, dan ternyata setelah kulihat disekitar ternyata di daerah itu
memang kompleks pelacuran. Aduh,
Nasib! Tapi lumayanlah dapat lihat cewek sexi gratis hari ini.
Welcome to
Borneo
Setelah mengikuti beberapa tes, akhirnya aku lulus dan
diterima diperusahaan tersebut.Sayangnya aku tidak bisa masuk ke Departement Planning melainkan masuk di Departement Harvesting. Karena hasil
Psikotes menunjukkan bahwa aku lebih pantas masuk di bagian tersebut. Bagiku hal itu tidak masalah, karena
apapun di dunia ini adalah ilmu dan tetap bisa kuajarkan pada orang lain
nantinya.
Akupun segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke
tanah yang belum pernah kujamah itu. Kalimantan hanya sering kulihat di TV
saja, dan itupun selalu menceritakan tentang kampung pedalamannya yang jauh
dari dunia luar. Sedikit takut bercampur senang waktu itu.
Dengan menggunakan Maskapai Lion Air aku dan seorang
teman wanitaku yang bernama yeyet berangkat menuju Balikpapan. Ini adalah kali
pertama kalinya aku naik pesawat dan untuk pertama juga aku melihat jelas
Kalimantan Timur dari angkasa. Sebelum mendarat di
Balikpapan, yang pertama kali kulihat dari langit adalah banyaknya hutan-hutan
gundul dan terlihat juga beberapa lokasi hutan yang terlihat sudah jadi
perkebunan. Kondisi ini jelas terlihat, karena sangat mudah membedakan antara
hutan dan perkebunan walau dilihat dari atas. Perkebunan tentunya lebih
terlihat tersusun rapi
daripada hutan alami.
Pesawatpun
akhirnya mendarat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Kuambil barang-barangku dan
segera keluar dari bandara sambil menunggu jemputan. Perjalanan ke Kalimantan
cukup lama, aku sampai di Balikpapan
Pukul 16.00 Wita setelah sebelumnya berangkat jam 10.00 Wib dan transit bebrapa
jam di Jakarta.Sudah terbayang dibenakku bahwa yang akan menjemput kami adalah
supir perushaan dengan sebuah mobil Strada Triton yang bertuliskan “ PT. Fajar Silva
Swadaya” , betapa semangatnya aku menunggu
jemputan tersebut, rasanya aku seperti orang paling penting sedunia.
Hatiku
rasanya sangat senang, semangat menggelora didadaku. Betapa tidak, yang
terbayang olehku adalah bekerja dengan gaji yang cukup lumayan dibanding gaji
temen-temanku yang jadi guru honorer di Kota Medan. Selain itu, aku bekerja di
tempat yang jauh dimana orang-orang belum tentu bisa ke sini. Selain bekerja
tentunya ini adalah sebagai pengalaman berharga dalam hidupku dan sebuah bahan
ceritaku pada keluarga maupun temen-temenku nanti. Dadaku rasanya berdetak
kencang karena sudah tidak sabar menunggu jemputan dan sudah tidak sabar untuk
bekerja, walaupun aku belum tahu apa yang akan kukerjakan nanti sebagai seorang
staff di Harvesting.
Tidak
berselang berapa lama, utusan perusahaanpun menelpon kami, akhirnya jemputanpun
datang. Sayangnya lain dari bayanganku sebelumnya yang akan dijemput oleh
seorang sopir dengan Mobil Strada Triton dengan merek ‘ PT. Fajar Silva Swadaya”, ternyata
kami dijemput
dengan mobil Avanza biasa yang tidak ada unsur-unsur perusahaan pada mobil
tersebut.
Aku langsung naik ke Mobil
dengan duduk di depan atau di dekat sopir, sedangkan kak Yeyet duduk di
belakang kami.. Dalam perjalanan menuju lokasi ternyata kulihat Balikpapan
adalah kota yang bersih. Tidak pernah ada kota sebersih itu selama beberapa
kota yang sudah pernah kulihat sebelumnya. Tata kota yang begitu rapi, tempat
sampah yang teratur dan tidak ada kemacetan.
Ini adalah Foto Saya waktu menyeberangi Sungai Mahakam.
Nasehat
Mama
Setelah
kembali melanjutkan perjalanan darat selama dua jam, akhirnya
kamipun sampai di lokasi. Inilah Lokasi camp PT. Fajar Silva Swadaya. Lari lagi
dari bayanganku. Selama ini yang kutahu camp terbuat dari kain-kain yang
dibentuk menjadi sebuah tenda, namun ternyata camp disini terbuat dari kayu
yang akhirnya membentuk sebuah rumah panjang yang terbagi menjadi kamar-kamar.
Orang-orang disini juga biasa menyebutnya dengan Mess. Seperti sebuah
perkampungan yang ada di tengah hutan, itulah kondisinya.
Dimana-mana
ada lampu, orang-orang sangat ramai dimana-mana. Rumah-rumah tersebut terbagi
menjadi beberapa blok yang panjang,
setiap bloknya berdiri 10 kamar. Memang hal ini tidak tebayangkan olehku
sebelumnya. Kamar tersebut masing-masing disisi oleh 4 orang. Aku sama sekali
tidak menyangka akan ada camp yang sudah berdiri seperti perkampungan ada di
sini. Sedangkan di jalan tadi sama sekali tidak ada apa-apa kecuali pepohonan
dan hutan-hutan perawan.
Tidak
ada signal disini, jika ingin menelepon biasanya harus ke kantor, karena di
kantor tempatnya agak sedikit tinggi dan juga tersedia repiter yang bisa
memancing signal, itupun harus menggunakan kartu Indosat. Lokasi ini juga
adalah salah satu daerah Endemik Malaria terganas di Indonesia. Menurut ilmu
kedokteran, Malaria tergolong penyakit yang mematikan, penyakit ini disebabkan
oleh nyamuk dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Orang yang memiliki kondisi
fisik yang lemah akan mudah terserang penyakit ini. Sebagian besar karyawan
disini mengidap penyakit tersebut, bahkan ada yang sampai maninggal dunia.
Memang sama-sama kita ketahui bahwa Kalimantan dan Papua adalah sarang malaria
terbesar di Indonesia. Sungguh tantangan yang berat untuk bekerja disini.
Sebelum
masuk ke kamar masing-masing, kamipun disuruh makan malam dulu di kantin milik
perusahaan. Mau makan berapa banyak terserah saja, asal tidak malu. Kantin
tersebut juga disediakan TV untuk para karyawan yang ingin menonton TV sambil
menikmati enaknya makanan. Banyak sekali karyawan yang makan, akupun terasa
jadi orang asing pada malam itu, semua orang memandangiku, aku agak jadi malu.
Aku ambil nasi dengan dua potong ayam di piringku, sontak semua orang
melihatku, tapi aku tidak perduli, karena yang kutahu adalah lapar.
Tidak lama kemudian datang beberapa orang mendekatiku,
dan membisikkan sesuatu, “MasCewek itu
siapa namanya?”, ujar salah seorang diantara mereka sambil menunjuk ke sampingku.
Ternyata dari tadi
mereka memandangi kak yeyet yang berada di dekatku, bukan melihatku.
Uniknya lagi bukannya lebih dahulu kenalan dan menanyakan namaku, tapi malah
minta kenalan ama kak Yeyet. Emang orang-orang hutan, jarang lihat cewek.
Setelah kuberitahu nama Kak Yeyet pada mereka, akupun pindah dari tempat
dudukku ke tempat lain. Males, ntar makin banyak yang nanya.
Setelah
makan selesai akupun didatangi oleh seorang wanita,
“Damar, ya?”
wanita itu bertanya kepadaku.
” Iya Buk,“sahutku.
“Saya Iten, ntar kamu
masuk ke kamar nomer 13 ya!”
“Iya buk!”Balasku.
Ternyata
dia adalah buk Iten yang selama ini sering menghubungiku baik melalui Handphone maupun E-mail.
Dugaanku kembali tidak tidak tepat, ternyata buk Iten masih muda, bahkan belum
berumah tangga.
Seseorangpun
mengantarku ke kamar yang kata mereka pria itu adalah staff General Service
(GS). General service adalah departement yang mengurus semua kelengkapan umum
dan kenyamanan karyawan dalam bekerja. Dalam kata lain, dia menjadi Ibu rumah
tangga di perusahaan, yang mengatur makanan, cuci pakaian, kamar, bahkan
transportasi juga adalah tanggung jawab seorang General Service.
Ketika
dalam perjalanan menuju kamar,
staff GS tersebut membisikkanku sesuatu,
“ mas, kasihan ya dapet kamar 13, kamar itu
banyak hantunya, tahu sendiri angka 13 itu angka sial,” aku
heran dia berkata seperti itu. Aku cuma diam tidak berkomentar apapun. Aku
capek, ditambah lagi dengan sedikit rasa pusing di kepalaku karena terlalu lama
dalam perjalanan. Kalaupun itu benar ada hantunya, yang kupikirkan adalah
teganya orang-orang ini memasukkanku ke kamar tersebut, jauh-jauh dari Medan
ternyata sampai disini cuma melihat hantu, memang hantu itu orang.
Sesampai
di kamar tersebut, ternyata
semuanya berbeda dari yang
dikatakan staff GS tersebut. Ada dua orang di dalam kamar ini, namanya Edi dan Makin. Setelah berkenalan
ternyata mereka orangnya humoris. Kamarnya juga bagus kok, tidak ada hawa
menyeramkan di dalamnya. Lemari saja sudah tersedia di kamar tersebut, kasur
juga sudah terhampar rapi. Memang staff GS tersebut yang hantu, masak karyawan
baru kok ditakut-takutin!
Walapun
kondisi Mes begitu indah, sayangnya tidak demikian dengan
hatiku. Hati ini masih tetap seperti tadi sore. Kesepian dan kerinduan meracuni
fikiranku, membuatku tidak betah di mes yang mewah ini. Untungnya hati yang sedih tidak
membuatku bermalas-malasan,aku tetap bisa merapikan barang-barangku di lemari.
Malam
belum terlalu larut setelah aku merapikan baju dan seisi tas. Aku segera ke
kantor untuk menelepon orangtuaku dan kekasih pujaan hatiku yang tentunya juga
ingin tahu kabarku sebenarnya. Kartuku yang telkomsel kuganti dengan Indosat,
namun sayangnya pada waktu itu orangtuaku belum punya kartu Indosat, hingga
akhirnya aku harus terlebih dahulu menelepon Uni Vita yang masih merupakan saudaraku
untuk nantinya memanggilkan Ibuku.
Saat sampai di kantor, aku langsung meneleponya,
“Hallo,”
sahut Vita pertama kali.
“Hallo, ini
saya Damar
Uni, bisa tolong panggilkan Mama? Aku Cuma bisa pake Indosat disini, sedangkan
mama tidak punya Indosat,”
Uni adalah bahasa minang yang artinya Kakak.
“Oo....Damar...Alhamdulillah....,
kamu sudah sampai berarti di Kalimantan! Gimana rasanya naik Pesawat?” sahutnya
kembali.
Sontak hal itu membuatku
tertawa sejenak hehehe…,
ternyata pertanyaan pertama yang keluar dari bibirnya adalah bagaimana rasanya
naik pesawat, bukan
menanyakan kabarku. Itulah orang-orang di kampungku, naik pesawat masih sangat
langka bagi mereka, kecuali orang yang sudah naik Haji, tapi aku menyadari itu,
semoga saja semua orang di kampungku nanti bisa kuajak naik pesawat.
“Enak Ni, kumpul uang dong,
biar ntar ke Kalimantan bareng aku naik pesawat, O ya, tolong panggilkan
Mama ni!” Akupun minta tolong untuk
panggilkan Mama.
“Ok, sebentar ya,”
Uni Vita segera memanggilkan mamaku,karena
jarak rumahku dengan rumah uni Vita tidak terlalu
jauh.
Tidak
berselang berapa lama Mamapun terdengar mengatakan,
“Hallo....”
Sedih bercampur senang terasa
di hatiku mendengar suara Mama.
Dia yang selalu tegar
menghadapi masalah kehidupan yang begitu rumit. Tidak sekalipun dia gentar dan
kalah dengan semua yang dihadapinya, padahal aku yakin seorang ahli ekonomi
manapun tidak akan bisa memberi jalan keluar atas semua permasalahan ekonomi
kami, tapi mamaku tetap bisa bertahan. Bagiku dia adalah ahli ekonomi paling
handal di Indonesia,
“ Hallo...., ini aku DamarMa..., aku sudah sampai
di Lokasi!”Itulah perkataanku dengan
sedikit rasa sedih di hati.
“ Alhamdulillah....,
kamu sehat-sehat,
Nak?” sahut mamaku dengan sedikit tersedu-sedu,
dia menangis. Akupun tak tahan mendengar kesedihan mamaku, hingga akhirnya
matakupun berkaca-kaca.
“ Sehat Ma..., MaMa tenang aja, aku
baik-baik kok disini,”
jawabku.
“Bagus lah nak, maafkan
aku tidak bisa membahagiakanmu seperti teman-temanmu yang lainnya, seharusnya
kamu tidak akan jauh kesna,” Mama
terdengar menangis,“Jika saja aku masih bisa
membiayaimu di medan untuk mencari kerja”, tambah Mama lagi.
“Aku sudah bahagia kok Ma!Buktinya aku
senang-senang saja”, aku menyembunyikan kesedihanku.
“Jangan kamu sembunyikan
kesedihanmu padaku, aku adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkanmu,
akan selalu terasa di hatiku jika air matamu mengalir.”
Aku
bingung menjawab apa waktu itu,
“ Gak apa-apa Ma..., aku sedih karena
senang kok!
InsyaAllah ini adalah jalanku untuk menjadi orang lebih baik lagi,”
sahutku dengan sedikit tangisan.
Mamapun menasehatiku cukup panjang,
“
Amin...aku akan selalu mendo’akanmu
anakku, karena tidak ada lagi yang akan aku dan papamu berikan padamu, tiada
sedikitpun harta yang akan bisa kami tinggalkan untukmu, hanya rumah
peninggalan kakekmu inilah yang tersisa jika harta yang kamu cari, jadikanlah
Ijazah yang telah kamu dapat menjadi harta besar yang kamu miliki, hanya itu
yang bisa kami berikan kepadamu,” itulah perkataan
mamaku yang telah bersusah payah
mengkuliahkanku.
“Iya Ma....aku akan menjaga
amanah mama, semoga kita semua bisa keluar dari belitan hutang yang sudah lama
menghantui kehidupan,”
jawabku kembali.
Mama kembali melanjutkan nasehatnya,“Ketahuilah nak, yang
paling menyedihkan bagiku adalah ketika kamu harus pergi jauh ke pedalaman
kalimantan dengan meninggalkan kebahagiaan masa mudamu, meninggalkan keluarga,
meninggalkan kenangan indah dengan teman-temanmu dan harus menantang setan
malaria yang akan selalu mengintaimu hanya karena ingin membayar hutangku. Jika
itu memang itu niatmu, maka Allah akan
selalu bersamamu, karena ridhoku adalah ridho Allah, di telapak kakiku ada
surga yang akan kamu gapai nantinya.”
Akupun mengungkapkan keberanianku pada Mama dengan
membalas nasehatnya, “Jangankan ke Kalimantan Ma,
ke pedalaman Afrika sekalipun akan kurelakan hidupku asal mama dan papa
bahagia, inilah aku, anak laki-lakimu yang akan berjanji memperbaiki kehidupan
kita, agar kalian menikmati hidup tanpa hutang yang selalu menjadi momok
menakutkan setiap bangun tidur. Aku terdidik sebagai seorang anak Tentara,
pantang bagiku mundur sebelum misiku selesai.”
Percakapan
kamipun akhirnya selesai, mamapun mengakhiri telepon dengan mengucapkan salam
kepadaku dan akupun membalasnya. Percakapan kami barusan kembali membangkitkan
semangatku, kesedihanku rasanya berakhir, jiwaku kembali bangkit, apapun yang
terjadi disini akan kuhadapi dengan senang hati demi orangtuaku.
Setelah usai menelepon, akupun berbincang pada satpam
yang saat itu ada di sekitar kantor. Saat itu banyak pepohonan yang
ketinggiannya sama dan tersusun rapi, akupun bertanya,
“Pak,
pohon-pohon yang di sekitar kantor ini pohon apa ya? Dalam perjalanan tadi aku
juga melihat hal yang sama!” Gumamku.
“Ini, ya
Acasia Mas, perusahaan inikan HTI, Acasia adalah salah satu jenis tanamannya.”
Mulai dari situlah aku tahu apa itu HTI. Melalui
seorang Satpam semua itu sedikit jelas bagiku, walau belum tahu secara
keseluruhan. Aku yakin satpam itu pasti heran, kok karyawan HTI tidak tahu
pohon apa yang ditanam perusahaannya hehehe…
Bersambung...